SELF DRIVING – Menjadi Driver atau Passanger?

SELF DRIVING – Menjadi Driver atau Passanger?

Author: Winarso
Sumber: Group WA Smansa
Tanggal: 01 Pebruari 2016


 

Buenos días sénoras y caballeros…

Pagi ini sebenarnya saya mau mengisi tentang listening skill dalam kaitannya dengan service excellence…tapi keliatannya membosankan yah…tema itu….??

OK deh…saya mau bercerita saja tentang Ignatius Ryan Tumiwa….

Kenapa harus dia yang saya ceritakan?

Masih ingat nggak…awal Agustus 2014 saat Ignatius Ryan Tumiwa (48) menggegerkan kita ketika yang bersangkutan meminta Mahkamah Konstitusi menguji materi pasal 344 KUHP terhadap UUD 1945.

Singkatnya, ia minta agar dilegalkan untuk melakukan bunuh diri.

Ia ingin mengembalikan “mandat kehidupannya”.

Dalam kesaksiannya,  menurut kompas.com,  Ryan mengalami depresi karena lebih dari setahun menganggur.

Singkatnya,  Ryan menjadi putus asa.

Padahal ia mempunyai gelar S2 dari Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UI.

Bukankah ini cukup membanggakan?

Indeks prestasi kumulatifnya 3,32….artinya saat lulus,  lulus dengan Cum Laude.

IPK sebesar itu untuk kuliah di UI dan lulus pada 1998 jelas terbilang tinggi…

Kepintaran Ryan ini juga terkonfirmasi oleh para tetangganya yang menyebut Ryan genius.

Ia bahkan pernah menjadi dosen.

Konon,  hidupnya menjadi mulai tak menentu setelah orang tuanya meninggal.

Membaca berita seperti ini…membuat kita semua miris…

Dalam sebuah kuliah….

Ada seorang mahasiswa yang mendapat nilai marketing A…

Menarik untuk disimak karena  mahasiswa bernilai A ini…bicaranya ketus,  berpakaian sembarangan,  “packaging-nya buruk,…..

Imagenya lebih dikenal sebagai siswa yang aneh dan “membosankan”..%

Dan yang menarik lagi….kata teman-temannya….pacarnya tidak ada…???

Sambil berkelakar dosen mahadiswa ini bercanda, ” Jadi,  kau dapat nilai A dalam marketing,  tapi tak bisa memarketing dirimu sendiri?”…%

Bukankah marketing itu berarti kepuasan pelanggan,  melayani orang dengan baik,  mengerti cara branding,  packaging, dan membidik pasar?

Mengapa tidak kau tanam semua itu dalam dirimu?

Mengapa hal-hal seperti itu hanya kau simpan dalam otakmu?

Inilah perbedaan tahu dan bisa…

Kita sebagai orang tua,  pendidik (dalam extended education system,  kita juga menjadi pendidik tetangga dan orang-orang di luar keluarga inti kita) tentu mencemaskan karena kita terkadang lalai tidak membekali mereka dengan prinsip-prinsip kehidupan itu sendiri.

Prinsip yang ditanam di dalam,  bukan di luar,  sehingga membuat manusia bukan sekedar tahu,  tetapi bisa.

Akhirnya,  orang-orang seperti ini akan kesulitan mencari pekerjaan atau berwirausaha,

Mereka pasti kesulitan “memasarkan dirinya” sendiri,  dan jadilah yang tak kita inginkan : Frustrasi dan depresi seperti Ryan tadi.

Kampus telah melibatkan diri terlalu jauh dengan melabelkan mereka gelar,  ijazah,  dan nama universitas yang terkesan hebat untuk sesuatu yang mereka tidak mampu “serahkan” kepada pemberi kerja (Linked and Matched).

Banyak orang berpikir,  label-label itu “akan bekerja untuk saya”.

Padahal pendidikan yang benar mengajarkan “jangan jual label-label itu”, melainkan jualah yang engkau miliki,  yaitu dirimu sendiri.

Pulung: Banyak faktor yg mempengaruhinya ya om Win☕?

Ya….yourself, not your labels.

Not your UI, your ITB, atau your UGM.

Bahkan not your Harvard MBA….

Supaya kita menjadi manusia yang bermental “driver” dan bukan bertype “passenger”.

Itu yang menjelaskan…

Kenapa banyak sarjana hidupnya kalah dengan buruh migran….

Para TKI di Hongkong, Taiwan dll…yang terus menerus dipaksa lingkungannya untuk berpikir kritis.

Mereka melatih kegesitan,  belajar dari kehidupan.

Sedangkan para sarjana….banyak yang bermental “passenger”…fokusnya memindahkan pengetahuan dari buku ke kertas ujian.

Jadi pintarnya itu pintar kertas,  dan sarjananya sarjana “kertas”…???

Wis…semene ndisit nggo pembuka Senin pagi….

Silahkan kalau mau brainstorming…??

Nilam:

Supaya kita menjadi manusia yang bermental “driver” dan bukan bertype “passenger”. — ini BETUL sekali Win

Dan itu terbentuk dari gmn orang tua membentuknya

Anak didrive bahkan dipaksa uyk dpt nilai setinggi2nya di sekolah hanya “sekedar” utk dpt tiket pass ke sekolah berikutnya dan anak2 ga tau kenapa saya hrs ke sana… anak tdk diajari menetapkan tujuan utk dirinya sendiri.. akhirnya mereka mengejar angka2 itu hanya sekedar penuhi tuntutan eksternal

Satu lagi klo dihubungkan ke kasus ryan (tp sori saya ga ngikuti detil kasus itu).. tp belajar dr fenomena itu… anak tdk pernah diajari utk belajar mengatasi situasi sulit.. gmn ngatasi kecewa, sedih, gagal dll

Mereka ga pernah belajar cara “coping” yg efektif utk dirinya

Yg ada.. orang tua malah nunjukin gmn marah dan frustrasinya orang tua ketika anaknya gagal

Ada yang pernah menginap di hotel Burj Al Arabia?

Hotel itu adanya di Dubai…

Cuma mau lihat-lihat saja….harus bayar 1000 US $ ….??

Pemiliknya….namanya Muhammad Al Mahtum…

Syaikh Muhammad Al Mahtum…

Bagaimana dia memajukan Dubai?

Bagaimana Al Mahtum meletakkan dasar-dasar perubahan di Dubai?

Kata Al Mahtum, “Kita ini seperti rusa di padang sabana yang dikelilingi harimau-harimau yang siap memangsa. Kalau tidak bisa lari lebih kencang,  maka kita akan menjadi mangsa mereka.”

Manusia berkarakter “driver” adalah manusia yang kompeten,  cekatan,  gesit,  betinisiatif dan kreatif.

Makanya di USA ada universitas yang punya misi : “Creating graduates from “passengers” to “drivers” in their lives, organizations, and new ventures.”

Smansa nganti saiki nduwe misi apa beleh yah….??