“sejak peristiwa cincin itu,, aku mulai mencoba menyusun rencana utk menghadapi semua kemungkinan yg ada…
Dan salah satu yg aku pikirkan adalah mengharap dukungan dari keluargaku seandainya sesuatu harus terjadi…
Maka aku putuskan utk memperkenalkan Komala ke keluarga..
Sabtu pagi,,sepekan setelah pembicaraan,, aku ajak dia berkunjung ke Tegal..
Mulanya dia agak ragu,, tapi akhirnya aku bisa meyakinkannya bahwa ini diperlukan utk mendukung rencana..
Tapi aku memang tak sempat memberitahukan perihal kunjungan ini ke keluarga Tegal…
Dan sudah aku duga,, keluarga lumayan kaget begitu aku pulang tidak sendirian seperti biasanya…
Sontak,, begitu banyak pertanyaan yg harus aku hadapi…
Untung saja,, kejutan dariku bukan hal baru buat mereka… Jadi setelah aku jelaskan,, maka kekagetan itupun bisa hilang…
“Malem ini si Komala tidur disini,,, tapi kamu gk boleh ada di rumah ini malem ini..!”
Begitu syarat bapakku tegas..
Aku juga bisa mengerti itu…
Alhasil aku harus tidur di tempat kakakku di jalan Poso waktu itu..
Pagi hari aku baru bisa bicarain panjang lebar masalah ini dgn keluarga…
Tapi ada satu hal yg bikin aku terharu dgn pertemuan Komala dgn keluarga ku..
Waktu aku sampai kembali ke rumah,, rupanya Komala sedang di ajak ibuku utk ikut ke pasar…
Dan begitu melihat mereka pulang,, aku bahagia melihat mereka begitu akrab,, seperti yg sudah kenal lama…
“Komala anaknya baik,, ibu suka sama dia..!”
Masya Allah,,, aku seperti mandi embun pagi mendengar pengakuan ibuku itu…
Tapi lain dengan sikap dari bapakku..
Beliau cuma mensyaratkan satu hal,, bahwa apapun rencanaku dgn Komala,, apapun itu,, semua harus berjalan seperti yg digariskan agama.
Cuma itu yg jadi patokan bapakku…
Tasik menyimpan cerita tersendiri buatku..
Aku biyen delat maning enggal jembelong karo bocah Tasik..
Daerah pamoyanan …
Kaki gunung Galunggung…
deket Suryalaya..
Thn 96 wkt itu…
Aku sih ketemune nang Jakarta..
Kalo soal syarat sih,, insha Allah bisa…
Yg berat itu misteri dari bocah ini…
Apa namanya yah..??!
Penuh hikmah,,, sebut aja gitu deh..🙂
Namanya Komala Sari… panggilannya Mala
Utk ukuran aku,, dia cantik.
Kepribadian nya baik..
Orangnya ceria..
Waktu itu aku tinggal di Palmerah,, samping Gramedia…
Dia kebetulan kerja di Gramedia itu..
Jadi setiap dia mau ke Gramedia,, aku liat dia sambil ndlongop..
Lama2 aku beranikan diri buat nyapa dia..
Alhamdulillah,, gayung bersambut..
di point pertemuan inilah awal semuanya terjadi..
Jadilah aku mulai deket,, sampai akhirnya sering jalan bareng..
Dan kecocokan pun mulai terasa…
Ada satu lagu dari air supplay yg menjadi begitu dalam buat kami,, judulnya Someone Who Believes In You
Tapi aku tidak akan bahas isi lagu itu…
Setelah sekitar 3 bulan jalan bareng,,
suatu sore 15 Apri ’96,, pukul 16.39..Aku berniat utk beranikan diri ungkapkan perasaan…
Kebetulan hari Sabtu aku ajak dia ke tempat ngobrol yg enak..
Sore itu sepertinya dia udah bisa menebak apa yg mau aku katakan,, dan dia tampil sangat istimewa sore itu..
Keseharian dia biasa casual,, tapi sore itu dia begitu gorgeous…
Dgn gaun maroon,, kulit putihnya begitu bersinar…
Sore itu aku bener2 melihat sosok bidadari…
Seiring air supplay berkumandang,, aku beranikan diri tuk meraih jemarinya…
Lembut bak sutra Mongol..
Degup jantungku bergemuruh..
Namun ada hal ganjil yg aku temui di jari manisnya..
Ada sebentuk cincin melingkar disana..
Melihat ekspresi wajahku,, tanpa aku tanya,, diapun berkisah soal cincin itu… “Aku sudah dijodohkan sama orang tuaku..”
Dia ucapkan itu dengan derai air mata…
Aku berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kekagetan ku.. ” dan cincin ini telah mengikatku 6 bulan yg lalu..”
Serasa sore itu langit berubah kelam…
Mendung tiba” menutup indahnya matahari sore itu…
Sejenak aku terdiam… “Aku minta maaf,, tak tega utk bercerita dari awal kita kenal… Ketulusan kamu buat aku ingin mematahkan cincin ini..”
Aku masih bingung,, harus berkata apa…
Tapi kalimat terakhir itu yg bisa membuat ku masih tetap duduk disana…
Akhirnya dia berani bercerita,, bahwa selama ini dia berharap akan ketemu seseorang yg bisa memberikan kekuatan utk mendobrak pasungan ini..
Dan orang itu,,katanya aku.. “Aku bukan mau mengajarkan kamu utk jadi anak durhaka ke orang tua..”
Aku mulai bisa bicara.. “Tapi aku juga bukan hendak membiarkan sebongkah hati terpasung tanpa daya..” “kuncinya ada di kamu..
Mudah-mudahan kamu yakin bahwa aku memang dihadirkan utk dampingi kamu hadapi masalah ini…
Jika kamu yakin,, bismillah,, aku akan dampingi kamu menghadapi orang tua kamu..
Dia menatapku syahdu,,,seakan akulah harapan terakhir nya.. “Aku yakin..!”
Kalimat itu meluncur pasti dari bibir ranumnya..
Membuat langit kembali cerah… “I do love U..”
Balasku pasti…
Dan sejak hari itu semua pikiranku terfokus pada satu hal…
Membuka belenggu itu…
Semua peristiwa perjodohan bisa aku dapatkan dengan detil gambarannya…
Author: Winarso Sumber: Group WA Smansa Tanggal: 01 Pebruari 2016
Buenos días sénoras y caballeros…
Pagi ini sebenarnya saya mau mengisi tentang listening skill dalam kaitannya dengan service excellence…tapi keliatannya membosankan yah…tema itu….??
OK deh…saya mau bercerita saja tentang Ignatius Ryan Tumiwa….
Kenapa harus dia yang saya ceritakan?
Masih ingat nggak…awal Agustus 2014 saat Ignatius Ryan Tumiwa (48) menggegerkan kita ketika yang bersangkutan meminta Mahkamah Konstitusi menguji materi pasal 344 KUHP terhadap UUD 1945.
Singkatnya, ia minta agar dilegalkan untuk melakukan bunuh diri.
Ia ingin mengembalikan “mandat kehidupannya”.
Dalam kesaksiannya, menurut kompas.com, Ryan mengalami depresi karena lebih dari setahun menganggur.
Singkatnya, Ryan menjadi putus asa.
Padahal ia mempunyai gelar S2 dari Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UI.
Bukankah ini cukup membanggakan?
Indeks prestasi kumulatifnya 3,32….artinya saat lulus, lulus dengan Cum Laude.
IPK sebesar itu untuk kuliah di UI dan lulus pada 1998 jelas terbilang tinggi…
Kepintaran Ryan ini juga terkonfirmasi oleh para tetangganya yang menyebut Ryan genius.
Ia bahkan pernah menjadi dosen.
Konon, hidupnya menjadi mulai tak menentu setelah orang tuanya meninggal.
Membaca berita seperti ini…membuat kita semua miris…
Dalam sebuah kuliah….
Ada seorang mahasiswa yang mendapat nilai marketing A…
Menarik untuk disimak karena mahasiswa bernilai A ini…bicaranya ketus, berpakaian sembarangan, “packaging-nya buruk,…..
Imagenya lebih dikenal sebagai siswa yang aneh dan “membosankan”..%
Dan yang menarik lagi….kata teman-temannya….pacarnya tidak ada…???
Sambil berkelakar dosen mahadiswa ini bercanda, ” Jadi, kau dapat nilai A dalam marketing, tapi tak bisa memarketing dirimu sendiri?”…%
Bukankah marketing itu berarti kepuasan pelanggan, melayani orang dengan baik, mengerti cara branding, packaging, dan membidik pasar?
Mengapa tidak kau tanam semua itu dalam dirimu?
Mengapa hal-hal seperti itu hanya kau simpan dalam otakmu?
Inilah perbedaan tahu dan bisa…
Kita sebagai orang tua, pendidik (dalam extended education system, kita juga menjadi pendidik tetangga dan orang-orang di luar keluarga inti kita) tentu mencemaskan karena kita terkadang lalai tidak membekali mereka dengan prinsip-prinsip kehidupan itu sendiri.
Prinsip yang ditanam di dalam, bukan di luar, sehingga membuat manusia bukan sekedar tahu, tetapi bisa.
Akhirnya, orang-orang seperti ini akan kesulitan mencari pekerjaan atau berwirausaha,
Mereka pasti kesulitan “memasarkan dirinya” sendiri, dan jadilah yang tak kita inginkan : Frustrasi dan depresi seperti Ryan tadi.
Kampus telah melibatkan diri terlalu jauh dengan melabelkan mereka gelar, ijazah, dan nama universitas yang terkesan hebat untuk sesuatu yang mereka tidak mampu “serahkan” kepada pemberi kerja (Linked and Matched).
Banyak orang berpikir, label-label itu “akan bekerja untuk saya”.
Padahal pendidikan yang benar mengajarkan “jangan jual label-label itu”, melainkan jualah yang engkau miliki, yaitu dirimu sendiri.
Pulung: Banyak faktor yg mempengaruhinya ya om Win☕?
Ya….yourself, not your labels.
Not your UI, your ITB, atau your UGM.
Bahkan not your Harvard MBA….
Supaya kita menjadi manusia yang bermental “driver” dan bukan bertype “passenger”.
Itu yang menjelaskan…
Kenapa banyak sarjana hidupnya kalah dengan buruh migran….
Para TKI di Hongkong, Taiwan dll…yang terus menerus dipaksa lingkungannya untuk berpikir kritis.
Mereka melatih kegesitan, belajar dari kehidupan.
Sedangkan para sarjana….banyak yang bermental “passenger”…fokusnya memindahkan pengetahuan dari buku ke kertas ujian.
Jadi pintarnya itu pintar kertas, dan sarjananya sarjana “kertas”…???
Supaya kita menjadi manusia yang bermental “driver” dan bukan bertype “passenger”. — ini BETUL sekali Win
Dan itu terbentuk dari gmn orang tua membentuknya
Anak didrive bahkan dipaksa uyk dpt nilai setinggi2nya di sekolah hanya “sekedar” utk dpt tiket pass ke sekolah berikutnya dan anak2 ga tau kenapa saya hrs ke sana… anak tdk diajari menetapkan tujuan utk dirinya sendiri.. akhirnya mereka mengejar angka2 itu hanya sekedar penuhi tuntutan eksternal
Satu lagi klo dihubungkan ke kasus ryan (tp sori saya ga ngikuti detil kasus itu).. tp belajar dr fenomena itu… anak tdk pernah diajari utk belajar mengatasi situasi sulit.. gmn ngatasi kecewa, sedih, gagal dll
Mereka ga pernah belajar cara “coping” yg efektif utk dirinya
Yg ada.. orang tua malah nunjukin gmn marah dan frustrasinya orang tua ketika anaknya gagal
Ada yang pernah menginap di hotel Burj Al Arabia?
Hotel itu adanya di Dubai…
Cuma mau lihat-lihat saja….harus bayar 1000 US $ ….??
Pemiliknya….namanya Muhammad Al Mahtum…
Syaikh Muhammad Al Mahtum…
Bagaimana dia memajukan Dubai?
Bagaimana Al Mahtum meletakkan dasar-dasar perubahan di Dubai?
Kata Al Mahtum, “Kita ini seperti rusa di padang sabana yang dikelilingi harimau-harimau yang siap memangsa. Kalau tidak bisa lari lebih kencang, maka kita akan menjadi mangsa mereka.”
Manusia berkarakter “driver” adalah manusia yang kompeten, cekatan, gesit, betinisiatif dan kreatif.
Makanya di USA ada universitas yang punya misi : “Creating graduates from “passengers” to “drivers” in their lives, organizations, and new ventures.”